Cerita Pendek, 'Penantian'

- 10 Oktober 2023, 20:35 WIB
Ilustrasi: Pixabay/Pexels
Ilustrasi: Pixabay/Pexels /Maulidia Iqrima Savira, mahasiswa Universitas Jember program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/



RINGTIMES JATIM - “Nana, di kantorku sedang membutuhkan karyawan di bagian staf administrasi, mungkin saja kamu cocok dan bisa mencoba melamar pekerjaan di sana?” kata Safa yang meneleponku di malam hari. Safa merupakan sahabat penaku yang sudah lama aku kenal lewat sosial media.

“Ah terima kasih informasinya, aku akan secepatnya mengurus berkas lamaran pekerjaan di sana.” Aku dengan cepat menyetujuinya dan segera mempersiapkan diri.

Aku yang warga asli Pekalongan sangat berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus dan layak di kota Jakarta. Sebenarnya aku kurang di izinkan oleh kedua orang tuaku untuk bekerja di kota Jakarta, mengingat kerasnya kehidupan disana dan berdalih karena aku seorang perempuan.

Namun, bagi aku kota Jakarta merupakan kota yang cocok untuk mengubah nasibku dan akan sangat keren jika aku bisa bekerja disalah satu gedung pencakar langit yang ada di sana. Lagi pula, aku sudah mencoba beberapa kali mengirimkan berkas lamaran pekerjaan di kota ku namun hasilnya masih nihil.

Dengan segala rayuan untuk meyakinkan kedua orang tuaku yang akhirnya membuat orang tuaku menyerah dengan keras kepalaku. Untuk sementara waktu aku menumpang dulu di kediaman Safa yang ada di Bekasi.

Dan di sinilah aku saat ini, di kota yang selalu sesak oleh penghuninya. Kota yang katanya serba ada dan serba bisa namun di waktu yang bersamaan jadi tempat yang serba sulit untuk dijamah.

Dengan terik matahari yang terang seakan tidak mampu memadamkan semangat orang-orang yang ada di sini. Banyak manusia yang sibuk dengan urusannya masing-masing, ada yang terburu-buru pergi dari tempat satu ke tempat lainnya, ada juga manusia yang berjuang mati-matian hanya sekedar untuk bernafas dalam sesaknya kehidupan di kota ini.

Dari 20 menit yang lalu aku sudah mengantarkan berkas lamaran pekerjaanku, dan sekarang aku berada di sebuah restoran untuk menemui Safa temanku.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?” tanyaku memulai percakapan.

“Seperti biasa, berjalan dengan semestinya. Cukup bosan diriku diposisi saat ini, datang menghadap laptop berjam-jam lalu pulang dengan keadaan yang melelahkan. Begitu terus sampai aku tidak sadar sudah 6 bulan sejak aku masuk ke dunia pekerjaan,” ungkap Safa.

“Tapi kamu di posisi ini sangat beruntung loh, pasca wisuda kamu sudah langsung bekerja di perusahaan ternama. Kamu sudah mampu mencari uang sendiri dengan hasil kerjamu. Sedangkan aku? Aku masih menganggur dan menunggu keajaiban dunia,” pukasku dengan menyedihkan.

“Ah maaf Nana, aku tidak bermaksud menyinggungmu,” ucap Safa yang merasa tidak enak.

“Santai, aku tidak papa. Aku hanya ingin sedikit menyadarkanmu jika masih banyak orang di luaran sana yang mengharapkan ada diposisimu saat ini. Sudahlah tidak perlu dibahas lagi.”

Percakapan mereka terputus karena ada pramusaji yang sedang mengantarkan pesanan mereka, mereka pun menyesap mimuman yang telah mereka pesan dengan memandang keadaan kota Jakarta dari jendela transparan lantai dua di restoran ini.

Mereka memandang seorang gadis yang terlihat sedang menunggu di tepi jalan, gadis itu terlihat sedang dongkol dan menunjuk-nunjuk seseorang bersepeda motor dengan memarahinya yang menggunakan jaket hijau yang bertuliskan nama salah satu platform jasa antar jemput.

“Apakah menunggu memang menjadi suatu hal yang menyebalkan? Kenapa tega sekali menindas seseorang dengan seenaknya dan mengganggap dirinya seperti seorang ratu yang maunya dilayanin dengan sebaik mungkin,” ucap Safa yang merasa jengkel.

“Berada di posisi menunggu memanglah tidak menyenangkan, apalagi disituasi panas yang terik seperti ini,” ungkap Nana sambil menatap Safa dengan dalam.

“Tapi apakah pantas dia memarahi seseorang seperti itu? dia pasti ada alasan tersendiri mengapa lama saat akan menjemputnya, apalagi pada dasarnya kota Jakarta tidak pernah sepi kendaraan.”

“Pada dasarnya orang kelas atas selalu menganggap dirinya sendiri wahhh, dan menganggap kalangan menengah bawah tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan mereka. Ya hal tersebut sama seperti perempuan itu, menganggap dia berhak dilayani dengan baik karena dia mampu membayar jasa ojek tersebut.”

“Ibaratnya gini, lu punya uang, lu punya kuasa!” ceplos Safa seperti ungkapan yang lagi booming akhir-akhir ini yang sontak membuat kami tertawa bersama.

Karena asiknya mengobrol, tak terasa kini waktu istirahat Safa telah selesai, Safa pun bergegas pergi kembali ke kantornya dan aku berniat untuk berkeliling di mall yang ada di sini, itung-itung refresing sembari menunggu Safa selesai bekerja dan pulang bersama ke rumahnya menggunakan KRL.

Setelah aku yang lelah sehabis mengelilingi mall dan membeli berbagai keperluan, dan Safa yang telah selesai bekerja, kita segera menuju ke stasiun Manggarai. Karena memang di waktu jam pulang kerja orang kantoran, stasiun Manggarai terasa begitu sesak dengan lautan manusia.

Setibanya kereta, mereka saling berdesak-desakan dan saling mendorong satu sama lain, mengerikan sekali dilihatnya. Karena aku dan Safa sama-sama takut dan malas berdesakan, akhirnya kita menunggu kereta yang lain. Untuk mengusir rasa bosanku, akhirnya aku membaca sebuah novel.

Tak terasa kereta yang lain pun datang, namun situasi yang sama terulang kembali. Mereka berdesakan dan saling mendorong. Hingga kita menunggu kereta datang yang keempat kalinya, hal tersebut masih sama.

“Ah kapan sih sepinya? Sungguh, aku sudah meridukan kasur empukku dan ingin segera berguling-guling di sana,” ucap Safa dengan frustasi.

"Nyatanya menunggu memang sangat melelahkan dan suatu hal yang menyebalkan sekali."

“Bersabarlah sedikit lagi. ”

“Sungguh, aku sudah lelah sekali.” Wajar sekali jika Safa merasa lelah, karena sudah berjam-jam ia bekerja dan saat pulang malah seperti ini.

Dan benar saja, akhirnya kereta kelima sejak kita berada di sini tiba dengan keadaan yang cukup sepi. Hingga membuat kita leluasa memilih duduk di mana.

“Akhirnyaaa,” ucap Safa dengan lega.

“Siapa sangka kita akan berada di posisi seperti ini? Kereta dengan situasi yang menengkan, hingga kita bisa memilih tempat duduk dengan sesuka hati kita,” ungkap Nana.

“Benar, ternyata tidak sia-sia kita menunggu lama. Berada di situasi seperti ini cukup menyenangkan dan melegakan.”

“Perihal menunggu memang sangat menyebalkan dan melelahkan, namun kita tidak pernah tau kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi kedepannya, nyatanya kita hanya perlu lebih bersabar. Penantian yang panjang ini berujung memuaskan bukan?” ucapku sambil tersenyum ke arah Safa.***

Ditulis oleh Maulidia Iqrima Savira, mahasiswa Universitas Jember program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah